Sekilas Pandang Perkembangan Islam di Indonesia - Islam Solutif

Sekilas Pandang Perkembangan Islam di Indonesia

Sekilas Pandang Perkembangan Islam di Indonesia

Sekilas Pandang Perkembangan Islam di Indonesia

Islam masuk ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia bukan dengan cara penjajahan atau pemaksaan. Ini fakta sejarah yang tidak bisa dimungkiri. Melalui utusan-utusan resmi kekhalifahan dan para pedagang muslim, Islam selalu berusaha berdialog dengan kebudayaan dan kepercayaan setempat. Di situlah Islam menjadi agama yang mudah diterima dan banyak yang memeluknya.

Namun seiring dengan semakin dewasanya kehidupan berislam kita, muncullah gerakan yang mengajak kembali kepada kemurnian. Para ulama reformis mulai meluruskan produk-produk dari akulturasi atau hibrid budaya, terutama bila budaya itu bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Jangan salah, ini bukan fenomena baru-baru saja, Sohib Solutif. Gerakan ini sudah ada, misalnya, ketika Perang Padri pada era kolonial.

Sebagaimana namanya, para ulama mencoba mengembalikan Islam ke Alquran dan Hadis, tanpa dicampuri budaya-budaya luar. Misalnya, dakwah dengan wayang yang tidak lagi dipakai, karena dalam Islam, gambar, patung, atau hal-hal serupa itu memang dilarang. Begitu juga dakwah dengan lagu.

Argumen mereka, bagaimana mungkin mendakwahkan nilai Islam dengan media yang dilarang oleh Islam? Rasulullah saja menutup telinganya ketika mendengar suara seruling. Rasulullah saja tidak pernah bernyanyi dan memainkan alat musik untuk hiburan, apalagi untuk berdakwah. Begitu pula para sahabat dan generasi terbaik setelahnya.

Sebagaimana bisa ditebak, usaha pemurnian Islam ini lantas menimbulkan pertentangan, bahkan perang. Pasalnya, sebagian masyarakat sudah nyaman dengan hibrid budaya.

Masing-masing pihak bersikukuh dengan pendiriannya. Para ulama reformis pun mulai menggunakan istilah “takhayul”, “bidah”, dan “khurafat”. Istilah-istilah ini memang qurani, tetapi ketika diucapkan, ternyata menyakiti kubu Islam tradisional dan Islam abangan.

Kubu Islam tradisional sendiri mencoba mengembalikan persoalan ke sejarah. Bagaimanapun Islam harus disebarkan dengan perdamaian. Bukan dengan membidah-bidahkan atau menakhayul-takhayulkan. Islam bukan ajaran yang kaku dan kebenaran bukan milik satu pihak. Jika Islam dulu disebarkan melalui cara-cara seperti itu, dijamin Islam takkan menjadi mayoritas seperti sekarang.

Para ulama Islam tradisional lantas bertanya, bagaimana dengan Wali Songo yang berdakwah menggunakan kidungan, tarian, wayang, dan sebagainya? Ulama-ulama yang mencoba memurnikan ajaran dipertentangkan dengan Wali Songo, sembilan sosok alim yang populer sebagai penyebar ajaran Islam di Jawa. Pertanyaan pamungkas itu biasanya, “Anda merasa lebih pandai dari Wali Songo?”

Ajakan untuk Tidak Kembali ke Islam Masa Awal Lagi

Sewaktu kecil dan masuk bulan Ramadan, kita diperbolehkan puasa beduk, yaitu puasa yang berbukanya pada saat azan duhur. Tidak ada puasa jenis ini dalam tataibadah orang Islam.

Namun mereka yang belum akil balig “diperbolehkan” melakukannya, karena mereka masih dalam proses latihan menahan lapar dan haus. Dengan kata lain, puasa beduk adalah proses adaptasi dan pengondisian seorang muslim cilik terhadap ibadah puasa yang sebenarnya.

Apakah ada pahalanya? Wallahu 'alam. Sepertinya tidak, karena memang yang namanya puasa itu dari subuh hingga magrib. Berbuka di tengah-tengah waktu itu sama saja dengan membatalkan puasa. Ibadah tersebut tidak akan dihitung.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak itu semakin tangguh. Puasa sampai magrib pun sanggup. Begitulah proses pelatihan itu.

Lalu setelah dewasa, apakah boleh kita kembali melakukan puasa beduk saat Ramadan? Alasannya, “Lo, dulu puasa beduk diperbolehkan oleh guru ngaji saya. Anda kok melarang-larang, merasa lebih pandai dari guru ngaji saya?”

Di sinilah problemnya. Terkadang, kita ingin bernostalgia ke masa yang serbaenak dulu. Alih-alih kembali ke Alquran dan Hadis, kita malah ingin kembali ke masa kecil kita atau ke guru ngaji kita. Padahal, tidak ada dalam Rukun Iman itu percaya kepada guru ngaji. Yang ada, kewajiban untuk percaya kepada Alquran dan Rasul-rasul Allah.

Coba cek, apakah ada tuntunan ibadah puasa beduk di Alquran? Apakah Nabi Muhammad pernah berkata-kata atau mencontohkan melakukan puasa beduk? Insyaallah tidak.

Puasa beduk hanya ikhtiar swadaya masyarakat untuk memfasilitasi anak-anak yang ingin belajar berpuasa. Fasilitas itu hanya buat anak-anak. Setelah kita dewasa, jangan menggunakan fasilitas atau keringanan ini lagi. Karena levelnya sudah berbeda.

Dengan logika yang sama, pantaskah kita jika menerapkan Islam yang ada pada masa-masa awal penyebarannya dulu? Tentu kita harus berpikir, ini sudah beda level.

Segenap keringanan dan mungkin ketidaksesuaian dengan sumber hukum Islam yang terjadi di masa itu hanya untuk adaptasi, latihan, atau sekadar supaya Islam diterima oleh masyarakat yang sudah sangat nyaman dengan tradisi leluhurnya. Singkat kata, semua itu adalah strategi penyebaran Islam.

Setelah Islam tersebar dan tegak di Indonesia, mari melek dengan aturan-aturan yang sesungguhnya dari Alquran dan Hadis. Karena, Islam kita insyaallah sudah naik level.

Contohnya, perkara berjilbab atau berhijab. Sudah lama kita tahu ayat Alquran di Surah al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu serta istri-istri orang-orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”

Apakah para muslimah langsung patuh dengan perintah ini waktu itu? Tidak juga. Coba ingat-ingat, Sohib Solutif, di masa kecil Anda, apakah banyak muslimah berjilbab? Kalau Anda sulit mengingat-ingat keadaan saat itu, tonton saja film-film tahun '90-an atau sebelumnya. Jarang sekali tertangkap kamera muslimah berhijab, baik tokoh utama maupun tokoh figurannya.

Faktanya, memang saat itu sedikit sekali muslimah yang berjilbab. Mengapa?

Ada dua penyebab. Pertama, kesadaran belum terbentuk. Dengan kata lain, levelnya belum ke sana.

Kedua, ada peraturan yang melarangnya, terutama di institusi-intitusi tertentu. Tidak usah bicara TNI dan Polri, di sekolah saja pelarangan itu jelas. Misalnya, pada 1982-1991, Depdikbud mengeluarkan Surat Keputusan No. 052/C/KEP/ D.82, yang isinya melarang siswi muslimah memakai hijab di Sekolah Dasar Negeri (SDN), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri (SLTAN) di seluruh Indonesia.

Jadi, siswi-siswi harus mengenakan seragam umum. Tidak boleh ada yang lengan panjang atau kerudung. Aturan ini, kalau dilanggar, sang siswi bisa diskors.

Terjadilah pro-kontra, waktu itu. Sejumlah orang tua melakukan protes. Ulama dan intelektual muslim pun menganggap larangan ini kurang bijaksana dan harus dicabut. Alasannya, sila pertama Pancasila bicara soal kehidupan berbangsa yang melibatkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pasal 29 UUD 1945 pun menjamin kebebasan beragama. Warga negara seharusnya bebas menjalankan kewajiban agamanya, termasuk dalam berjilbab.

Para kepala sekolah tidak bisa berbuat apa-apa menanggapi keberatan dan protes ini. Sebab, mereka hanya mengikuti instruksi Depdikbud. Namun sempat muncul jalan tengah: pelajar yang ingin tetap mengenakan jilbab bisa difasilitasi untuk pindah ke sekolah Islam swasta.

Tidak semua orang tua menerima solusi ini. Karena selain faktor biaya dan kerepotan mengurus kepindahan, menurut mereka, ada apa dengan jilbab? Berjilbab tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kenapa harus dilarang?

Kurang lebih sembilan tahun sekolah-sekolah negeri di Indonesia berjalan seperti itu, akhirnya larangan yang kontroversial tersebut dicabut sendiri dengan Surat Keputusan No. 100/C/Kep./D/1991. Sejak itu, para pelajar muslimah di SDN, SLTPN, dan SLTAN bebas mengenakan jilbab lagi.

Masalah itu sudah selesai. Secara hukum maupun kesadaran masyarakat terhadap jilbab sudah naik level. Nah, sekarang, apakah kita mau turun level lagi? Apakah ketika disuruh menutup aurat, kita masih berdalih, “Lo, guru ngaji saya dulu bilang tidak apa-apa tidak pakai jilbab.”

Menurut ulama-ulama reformis, iman dan takwa kita harus bertambah. Kita tidak boleh menoleh ke belakang, ke zaman saat kita masih belajar berislam dulu. Masa mahasiswa mau kembali ke SD? Mahasiswa, kalau perlu, lanjut kuliah ke S-2, S-3, dan seterusnya.

Itulah inti argumen ulama-ulama dan ustaz-ustaz yang ingin memurnikan ajaran Islam untuk kembali ke Alquran dan Hadis.

Jangan Merasa Benar Sendiri

Namun, para pelaku corak keagamaan tradisional juga tidak tinggal diam mendengar argumen itu. Menurut mereka, dalam fikih, kita boleh menyesuaikan ritual ibadah dengan kebiasaan setempat. Bagi mereka, Islam adalah agama yang bisa diterapkan dan disesuaikan dengan konteks masyarakat yang beragam.

Pertentangan antara arus tradisionalis dan reformis ini sempat mereda, tepatnya pada era Orde Baru. Beberapa tema yang menjadi langganan bahan debat, seperti ziarah kubur, maulidan, dan tahlilan mulai tidak dipermasalahkan lagi. Setidaknya, protesnya tidak segencar sebelum-sebelumnya. Pada masa ini, ekspresi Islam apa pun memang dibiarkan, selama tidak menyerempet politik praktis.

Sayangnya, ini bukan titik temu yang stabil. Pada akhir dasawarsa '90-an, kembali terjadi ledakan ideologis terkait hubungan Islam dan kebudayaan lokal. Muncul lagi Islam reformis yang mendambakan kemurnian Alquran dan Hadis. Penulis yang saat itu sedang kuliah di sebuah institusi negeri merasakan sendiri betapa gencarnya konsep “Islam Kafah” dikumandangkan, bahkan oleh dosen-dosen mata kuliah ilmu sekuler sekalipun.

Mereka merindukan kondisi sosial-budaya seperti saat Nabi Muhammad di Madinah pascahijrah dulu. Islam waktu itu menguat, baik secara pengaruh kehidupan maupun kenegaraan. Maka di Indonesia, terutama di kota-kota besar, budaya-budaya yang tidak islami atau praktik-praktik beribadah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah kembali dikritisi.

Perang pemikiran (gazwul fikr) terjadi. Medan perangnya di media, masjid, kampus, hingga warung kopi. Ini terjadi hingga era media sosial seperti sekarang. Sebagian memilih berdebat sampai berbusa-busa. Sebagian memilih menulis di buku atau media massa. Sebagian memilih diam, tetapi langsung mengamalkan ke dirinya sendiri dan keluarganya.

Yang membanggakan, sebagian juga bertindak nyata untuk menciptakan ekosistem yang menurut mereka ideal. Misalnya, para pengembang dan arsitek muslim reformis merancang perumahan khusus muslim.

Perumahan ini dibangun dengan fasilitas-fasilitas yang khas, seperti arena berkuda, memanah, dan kolam renang yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Pohon di perkebunannya pun terkadang sengaja dipilih yang sesuai dengan ikon-ikon Islam, seperti buah tin atau kurma.

Mereka berpendapat, lingkungan di Indonesia sudah terlanjur seperti ini. Maka, kalau mau mengubahnya, kita harus mengubah diri sendiri dan komunitas kita!

Menonton televisi, isinya pameran aurat, orang joget-joget, bernyanyi-nyanyi, jadwal acara-acara menariknya menabrak jadwal salat, maka mereka membuat stasiun televisi sendiri. Pergi ke sekolah, ternyata pemahaman agama gurunya masih bercampur kejawen, maka mereka membuat sekolah sendiri. Menabung di bank, syariah sekalipun, ternyata prosesnya masih menghasilkan riba juga, maka mereka membuat sistem perbankan sendiri. Dan seterusnya.

Entah akan jadi apa orang-orang yang ingin memurnikan Islam ini ke depannya. Pun, entah akan jadi apa para penganut Islam tradisional dalam periode mendatang. Peradaban Islam di Indonesia masih terus berjalan.

Yang jelas, jangan sampai perbedaan cara pandang ini membuat kita, kaum muslimin di Indonesia, terkotak-kotak dan merasa kaum kita paling benar, paling NKRI, paling berjasa, dan paling-paling lainnya. Ini perlu kita ingatkan, terutama dalam masa-masa polarisasi kubu Jokowi dan Prabowo yang memanas sejak 2014 ini.

Akankah umat Islam sedang menuju utopia, atau justru distopia? Saat ini, bersama-sama, kita sedang menuliskan sejarah perkembangan Islam dengan perkataan dan perbuatan kita.

- Penulis: Brahmanto Abu Hanifa
Please write your comments